nusakini.com--Curah sinar mentari masih malu-malu melewati bilik jendela. Perlahan motor mulai bergerak keluar dari pintu rumah berbahan papan. Menyusul kemudian empat jerigen dikaitkan di jok motor. Beban hingga 80 liter air bersih siap disongsong Edi saban pagi. Bila dirasa kurang, ia ambil lagi siang atau sore harinya. Mengambil air sejauh satu kilometer adalah aktivitas utama eyang berusia 81 tahun tersebut usai Sholat Shubuh. "Penting buat hidup sehari-hari," ucapnya. 

Namun rentetan cerita atas rutinitas harian itu tak lagi dijalankan oleh pensiunan pekerja tambang tersebut. Edi kini bisa meluangkan waktu paginya untuk yang lain atau sekadar bergegas menata warung kelontong miliknya. Sang pendamping hidup Edi, Nur Hasanah (68 tahun), turut mengaku senang. Tak perlu repot bergantian mengambil air lagi dan fokus mengais rezeki dari dagangan. "Dulu kalau Bapak gak ada ya gantian (ambil air)," cetus ibu asli Jawa ini. 

Jalan melambat dengan badan sedikit membungkuk, Eyang Edi setia menuntun  tim www.esdm.go.id, menuju teras rumahnya. Batang rokok yang tinggal separoh digenggam tangan kanannya. Sebelum tandas diisap hingga ujung, ia letakkan di asbak tepat di depannya. Sambil duduk, Edi mulai mengisahkan perjuangannya memperoleh air bersih. "Tidak cuman satu kampung, satu desa juga merasakan hal sama," ujarnya ditemani peci hitam di atas kepala. 

Edi dan Nur tak bisa seperti para tetangga. Mengebor sumur di sekitar rumah untuk menyedot air bersih. Biaya tinggi pengeboran manual membebani keluarga mereka. "Mereka (tetangga) pada pakai sumur bor manual," cerita Edi tentang usaha warga sekitar yang sebagian bermata pencaharian tambang dan perikanan. Ada juga warga yang mengandalkan air PAM meski beberapa kali sering mengalami kendala. 

Keduanya sepakat mengakui, musim kemarau jadi musim penuh perjuangan mendapatkan air bersih di sekitar tempat tinggalnya. "Pada musim kemarin itu sulit, pada antri ambil air," seloroh Nur pada kami. 

Sejauh pengamatan kami, desa tersebut dibentengi kawasan rawa. Tanah gambut menghiasi pondasi rumah mereka. Tak salah bila model perumahan mereka ditopang kayu dan diberi kelonggaran bagian bawah. 

Tak ada pilihan lain bagi keluarga Eyang Edi. Ia terlanjur cinta pada tempat tinggalnya sekarang. Setelah merantau dari Manado, Desa Nipah-Nipah, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur ini jadi tempat idamannya. Sudah empat belas tahun lebih, eyang tinggal di situ. Terlebih ia hanya hidup berdua bersama sang istri. "Keluarga nggak ada lagi di Manado," cetus Edi yang mengaku punya banyak anak asuh. Tak ayal, ia enggan berpindah meski kesulitan dapat air bersih. 

Mata eyang Edi menatap tajam ke arah kami sanbil terus bercerita. Di tengah percakapan, ia kerap menyelipkan rasa syukur atas kehidupan saat ini. Ucapan terima kasih kepada Pemerintah terus terlontar dari mulutnya dengan gigi yang menanggal. "Bantuan satu genset pompa air ini kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah karena alat ini kami sangat membutuhkan. Airnya nggak susah lagi," singgung eyang yang menikmati pembangunan sumur bor di samping rumahnya. 

Perjuangan mendapatkan air diceritakan detail oleh Eyang Edi. Sejak mulai tinggal di Penajam Paser Utara, akses air bersih sulit didapat. "Sering kali aku cari jauh di Sungai Parit," ujarnya. Edi kerap menempuh jarak jauh dengan motornya untuk mendapatkan air bersih. "Sehari-hari begitu," kata pria yang tak bisa lepas dari kaca mata untuk penglihatannya. 

Kini, Edi merasakan betul perbedaan air tanah dari bantuan sumur bor Pemerintah. "Air bagus, nggak bau, nggak berasa," tuturnya. Lantaran kondisi geografis yang penuh rawa, sumur bor ini, imbuh Edi, baru bisa digunakan empat bulan setelah selesai pembangunan. Airnya mesti dikuras terlebih dahulu agar menghilangkan lumpur yang ada didalamnya. 

Edi menuturkan, kebutuhan air buat masak dan minum jadi perhatian utama bagi keluarganya. Bahkan berkat bantuan sumur bor, Eyang Edi bisa mandi sebagaimana orang pada mestinya. Tidak perlu lagi menghemat penggunan air untuk mandi. "Ya istilah orang-orang, tak 'mandi ayam' lagi," ungkapnya malu-malu disertai gelak tawa. 

Nasib serupa juga menimpa Siti Rahma. Lantaran tak tau harus dari mana lagi mendapatkan air, ia terpaksa meminta air dari tetangga rumahnya. "Ngambil pakai selang," cerita Siti saat mengambil air meski cuaca sedang terik. Perjuangannya meminta tidak didapat dengan mudah. Kerap kali, tetangganya juga enggan mengaliri air ke rumah Siti. "Susah juga. Kadang (selang) punya saya gak dialiri karena banyak juga masyarakat di sini yang membutuhkan," selorohnya dengan wajah pilu. 

Meski lebih beruntung, Ode merasakan apa yang dialami Eyang Arif dan Siti. Air PAM jadi andalan Ode memperoleh air bersih sehari-hari. "Kadang ngalir, kadang nggak," cerita Ode. Tak hanya itu, Ode juga menyayangkan kualitas air PAM yang jauh dari bersih. "Apalagi musim hujan airnya sangat kotor," pengakuan Ode yang sudah sepuluh tahun menggantungkan hidupnya pada air PAM. Bahkan kala musim hujan datang, lumpur keluar dari ledeng pipa. 

Ode tak bisa serta merta langsung pakai air PAM. Perempuan berusia 38 tahun itu mesti membangun penampungan terlebih dahulu untuk masak maupun minum. "Ini untuk memenuhi empat anggota keluarga, dua anak dan sama suami," kata perempuan berkerudung coklat tersebut. Nada bicara Ode pun tersendat dengan senyum cerah, kuni ia tak perlu lagi repot berjuang mendapatkan air bersih. "Sekarang Alhamdulillah. Ada sumur air bor dan airnya memuaskan dan jernih," Ode mengungkapkan perasaannya saat kami temui di depan rumahnya. 

Baik Siti maupun Ode bisa bernapas lega. Berkat bantuan sumur bor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2017, keduanya tak lagi alami kesulitan. Siti merasa bangga dengan apa yang dilakukan Pemerintah terhadap kondisi warganya. "Saya merasa senang dan bangga kebantu adanya sumur bor ini. Terima kasih kepada Bapak Presiden Jokowi dan Pak Menteri," syukur ibu rumah tangga berusia 51 tahun tersebut. (p/ab)